Laugh with fish folder

BiNusian weblog

SELIMUT-SELIMUT KARDUS

September22

Perasaan bagai air bening, dengan setitik hitam secepat itu ia larut dan merubah segalanya.

Cahaya lampu berbinar dari teras tiap rumah, mengamati saya yang sedang berkutat dengan motor Jupiter MX di pintu rumah yang sempit. Saya hendak mengeluarkan motor itu karena tugas mendadak. Membelikan sebungkus pisang epe untuk saudara saya yang saat itu kebtulan sedang ada di Makassar.

Deruh Jupiter MX yg kasar segera memenuhi atmosfer perumahan yang suram di seluruh kompleks. Malam itu, walaupun belum agak larut suasana begitu sepi. Entah ada apa, biasanya sih di depan rumah selalu ada anak yang bermain kejar-kejaran, ataupun sekedar tertawa bersama. Ketiadaan itu membuat suasana kelam dan suram. Angin kemudian mengikut mengalir di atas ubun2 ku.

Motor ku melaju pelan di lorong komplek, berbelok di salah satu gang dan tembus ke jalan besar. Suasana khas perkotaan segera menyambut menerpa wajahku di balik helm standard. Saya selalu memvisualisasikan keadaan itu dengan warna jingga, warna yang memancarkan kesan manis, kesan gemrlap kehidupan perkotaan.

Jalan melebar, dan kiri kanan mobil mewah, kumuh, mengkilap, kotor, berderet memenuhi lebar jalan. Saya menyalakan lampu weser ke kanan, dengan goyangan pelan pada stir sya berbelok. Disana gerobak penjual pisang epe diam menunggu pelanggan.

“Eh, satu bungkus Rp 6.000? dalamnya ada 3? Hmm.” Saya mempertimbangkan porsi tersebut dengan harganya. Tak berapa lama segera ku iyakan saat memperhatikan pisangnya yang besar2. Lagi pula penjualnya seorang ibu dan tampak bersih. Saya mengambil salah satu kursi plastik tanpa memikirkan apa2, duduk disana dan memperhatikan Jalan besar di depan. Di sebrang jalan pantai losari kehitaman di hiasi kerlap-kerlip lampu dari pulau di depannya.

Gerobak itu sebenarnya tampak janggal berada disitu. Ia berdiri tepat di bawah sebuah Hotel mewah di kota Makassar. Perbedaan kelas seolah menegaskan adanya tinggi dan rendah. Dan yah, nantinya posisi ini akan membuka mata saya akan dua kehidupan.

Saya tak sendirian duduk di situ. Tak berapa jauh dari posisi duduk saya, kumpulan anak muda, laki-laki perempuan tampak asyik bercerita dengan gadget mahal di tangan mereka. Pakaian mereka mahal, dan agak minim untuk wanitanya, kulit bersih dan segar menandakan orang tua mereka merawat mereka dengan baik di ruangan ber-AC. Dan dapat di pastikan mobil merah mengkilap yang ngetem tepat di sisi trotoar adalah milik mereka. Melihat mereka jelas menggambarkan kehidupan anak muda yang pada umumnya mengejar fun, enjoy life, and hang out everyday. I don’t think its a problem, itulah anak muda, toh pada nntinya mereka akan dewasa dan melihat hal dengan lebih baik, saya percaya akan jalan yang dilihat tiap orang.

Saya puas bermain-main memperhatikan mereka, menganalisa apapun dari gerak-gerik mereka. Saya sudah menebak siapa si pemilik mobil. Siapa yang terkaya, ataupun siapa yang menyukai siapa. Walaupun tentu sy tidak memastikan kebenarannya(tak mungkin sy dengan memamerkan gigi bergabung dengan mereka, dan mulai memberikan presentasi tentang tebak-tebakan saya). Memang bukan hal yang baik dan terlihat mencampuri urusan orang, tetapi saya lebih menikmati hal itu dari pada memperhatikan kendaraan yang hilir mudik. Setelah itu, “eh, belum matang bu?” Tanya saya. “Belum.” Jawab sang ibu. Saya melanjutkan menunggu, menunggu ronde 2.

Anak muda dengan kesenangan hidup di sisi kanan saya. Sudah jelas, kali ini kepala sy memutar ke sisi kiri. Disana terlihat gerobak lainnya, bukan gerobak penjual pisang epe melainkan gerobak berisikan cool box, dan minuman-minuman dingin, gerobak kumuh itu tak ada yang menjaga pikirku semula. Mata sy men-scan ke sekitar gerobak itu, tak ada tanda2 si penjual, hanya tumpukan kardus dan sampah di dekat sana, sunyi di atas trotoar. Benar, ada tumpukan kardus dan sampah di dekat situ, pikir saya pada awalnya hingga akhirnya kardus itu bergerak dan kepala seorang anak kecil menyumpal dari sana. Wajahnya kotor oleh asap kendaraan, dan benda yang semula saya sangka sampah ternyata ibunya yang merangkulnya guna mencegah dari angin dingin yg berhembus kencang malam itu. Angin yang menyebabkan anak-anak di komplek rumah saya bahkan tak di perbolehkan keluar. Tetapi lihat mereka, mereka bahkan tidur di bawah angin itu.

Perasaan bagai air bening, dengan setitik hitam secepat itu ia larut dan merubah segalanya. Hati saya tercekat, bisa-bisanya saya mengira mereka adalah tumpukan sampah. Terbayang untuk membelah batok tengkorak saya dan mengeluarkan otak yang begitu sombongnya. Saya membela diri dengan memikirkan keremangan lampu jalan yang membuat sy mengira mereka sampah. Kali ini mata sy tak bisa lepas dari sana. Ibu dan anak perempuannya, terlihat tidur seperti biasa di atas trotoar keras, sang anak hanya mengenakan baju rombeng dengan kardus sebagai selimut. Sang ibu melapisi tubuhnya dengan cukup banyak kain robek, dan plastik transparan sebagai perlindungan terakhir. Ia memeluk penuh anaknya yang bergerak-gerak setiap angin berhembus. Hati saya miris melihat pemandangan itu.

Saya seolah menjadi pembatas dimensi antara si miskin dengan si kaya. Sungguh ironis, memikirkan saya baru saja memimpikan kehidupan penuh kesenangan sementara di sisi kiri saya. Ibu dan anak itu… memikirkan untuk tidur di tempat yang lebih empuk pun seolah tak mungkin.

Setiap merasa ketidak adilan selalu kita bertanya pada satu sosok di atas sana, Tuhan. Jelas sekali ketidakadalin di sini. Sungguh timpang, pada sisi kanan saya. Tangan para anak muda itu bahkan tak sanggup menggenggam seluruh blackberry-nya. Sementara sisi kanan, kepala sang Ibu yang hanya satu bahkan tak mendapatkan sesuatu untuk dijadikan tempat sandarannya. Hanya trotoar yang cukup empuk di bandingkan kerikil di jalanan.

Keadilan secara generalis kita visualisasikan dengan benda pengukur yang namanya timbangan. Tetapi apakah benar keadilan itu sesuatu yang bisa di ukur? Apakah yang namanya keadilan itu sesuatu seperti yang kita pahami sebagai seorang manusia? Saya kembali teringat akan guru Fisika saya di SMA, beliau saat mengajar tak hanya rumus rumit yg di berikannya, tetapi juga mengenai nilai2 kehidupan,(sungguh disayangkan di kelas saat itu, teman2 sy hanya memperhatikan saat rumus di jelaskan tetapi saat ia bercerita, tmn2 hanya menganggapnya sbg lelucon. Dan bagi sy sebaliknya saat rumus di jelaskan sy yang tidur) saya menyukai cara pemikiran menentang guru ini, dan satu hal mengenai keadilan yang pernah diutarakannya, dan masih sy ingat, : “Hei, tak ada yang namanya keadilan di dunia ini. Apa yang menjadi patokan akan keadilan itu? Aturan! Aturan, dan itu aturan ciptaan manusia. Keadilan milik manusia bukan suatu keadilan. Keadilan hanya milik Tuhan.” Katanya berapi-api sambil tersenyum horor.

Semua jelas jika keadilan milik Tuhan. Saya kembali merasakan kerasnya kursi plastik di pantat saya. Para anak muda kaya sudah pergi sejak tadi bersama cerita tak berguna mereka. Sementara sisi kiri saya tak berubah, tetap menyedihkan. Saya berdiri, meninggalkan panas tubuh sy di atas kursi plastik. Pisang Epe itu sudah di bungkus dengan baik, saya mengambilnya dan menukarnya dengan uang Rp 12.000. Pisang Epe itu ku gantung pada salah satu setirnya. Motorku menyahut seiring starter yang kutekan.

Untuk terakhir kali, saya memandang ke arah mahluk hidup yang tadinya kukira sampah. Beberapa orang yang masih lalu lalang bahkan hampri menginjak mereka, saya masih bingung dengan perasaan menekan di hati saya, sedih, ingin melakukan sesuatu. Yang jelas saya tak akan lagi menganggap itu suatu ketidakadilan, mungkin ketidakadilan dari kacamata manusia yang sempit, tetapi itulah kehidupan yang real terjadi. Tuhan tentu menginginkan yang terbaik untuk semua, dan Ia mengetahui sesuatu yang tak akan pernah di ketahui oleh manusia.

Saya memasukan motor saya ke gigi satu. Dengan pelan melepas kopling, seiring remasan gas yang kasar. Motor saya melaju kencang di atas aspal. Apa yang saya lihat adalah untuk saya renungkan secara pribadi, bukan hak saya mempartanyakan keadilan pada Tuhan. Siapa saya? Saya hanyalah manusia ciptaannya, yang di berikan kehidupan yang lebih beruntung dari mereka. Satu hal yang harus kita lakukan, “syukurilah kehidupan mu…, karena kau seharusnya sadar, betapa beruntungnya dilahirkan dengan jari-jari yang lengkap, bisa melihat dunia dengan mata yang tak bercacat, merasakan harumnya aroma bunga-bunga, peroleh pendidikan, kemudahan, terlebih dengan keluarga dan lingkungan yang baik.” Dan terakhir, ingatlah dan bisikan ke hati kita mengenai “Selimut-selimut kardus” jika kita mulai mengeluh tentang kehidupan. –Galang.e.l.

posted under Inside

Email will not be published

Website example

Your Comment: